Site navigation

Ketika Hati Bercengkrama

Archives

You can link to other sites that you like here

Other Sites

liputan6
google
kompas
detik
cnn
yahoo

Saturday, January 01, 2005

Waspadai Dampak Sosial Bencana Tsunami
Oleh T. Bachtiar

GEMPA tektonik berkekuatan 8,9 Skala Richter yang berpusat di 149 km sebelah selatan Meulaboh, Aceh Barat, Minggu (26/12) pukul 7.58 WIB dan disusul gempa kedua bekekuatan 5,9 Skala Richter pada pukul 8.48 WIB, telah mengakibatkan tsunami setinggi 10 meter. Gelombang tsunami yang melanda sebagian kawasan Nanggroe Aceh Darussalam itu pun merenggut korban ribuan orang. Bahkan, besarnya kekuatan gempa telah menyebabkan gelombang tsunami juga menerjang pantai-pantai India, Sri Lanka, Malaysia, Maladewa, Bangladesh, dan Thailand dengan total koran 23.000 nyawa manusia melayang. Apa itu Tsunami?

Tsunami berasal dari bahasa Jepang, yang sekarang dipakai secara internasional dalam ilmu kebumian. Prof. Izumi Yokoyama (1983) menjelaskan, tsunami berarti gelombang laut (nami) yang menerjang pelabuhan (tsu). Paling tidak, ada tiga penyebab terjadinya tsunami, gempa bawah laut, letusan gunung api, dan tanah longsor di dalam atau ke dalam laut.

Tidak semua gempa bawah laut menimbulkan tsunami. Tsunami terjadi bila adanya dislokasi vertikal di dasar laut, akibat gempa kuat yang sumbernya dangkal. Bila terjadi patahan di dasar laut, massa batuan tiba-tiba terjerembab, air di atasnya jatuh tersedot. Terjadilah gerakan osilasi naik-turun untuk mencapai keseimbangan dan timbullah tsunami ke segala arah dengan kekuatan yang sangat besar.

Bila terjadi longsor di dasar laut, massa batuan akan jatuh ke lereng di bawahnya. Akibatnya, air di atasnya menjadi terangkat, sehingga menimbulkan tsunami. Letusan gunung api bawah laut juga merupakan sumber terjadinya tsunami, seperti terjadi saat Gunung Krakatau meletus tahun 1883, dengan korban jiwa yang mencengangkan.

Menurut Prof. J.A. Katili (1983), tsunami yang terjadi 1883 karena runtuhnya Gunung Krakatau ke dalam laut, sehingga air laut di atasnya masuk ke lubang runtuhan, dan dilontarkan kembali menjadi gelombang yang dahsyat.

Tsunami merupakan gelombang besar yang ditimbulkan oleh energi yang tiba-tiba merambat akibat adanya gempa bumi atau letusan gunung api itu, mempunyai daya hancur yang sangat mengerikan. Contoh nyata dari dahsyatnya tsunami adalah saat Krakatau meletus. Gelombang raksasa itulah yang menyapu wilayah pesisir Banten dan Lampung sehingga pada tahun 1883 menelan korban jiwa 36.417 orang, dengan kerusakan bentang alam yang sulit dipulihkan dalam waktu singkat, bahkan mempunyai efek rentetan terhadap kehidupan sosial, ekonomi, dan politik.

Terimpit tiga lempeng

Kepulauan Indonesia merupakan pinggiran dari benua Asia. Di kepulauan ini tiga lempeng bertemu, yaitu lempeng Indo-Australia dari arah selatan, lempeng Pasifik dari arah timur, dan lempeng Eurasia di bagian utara. Tak heran bila Indonesia merupakan negara paling kaya akan gunung api. Dua jalur gunung api besar bertemu di Indonesia. Pertama, Lingkar Mediteran, yang masuk ke Indonesia dari Asia melalui Sumatra, terus ke Jawa, Bali, Nusa Tenggara, kemudian masuk melingkar ke Laut Banda. Kedua, Lingkar Pasifik, masuk ke Indonesia dari arah Filipina melalui Sangir-Talaud, Minahasa, dan melingkar ke Laut Banda.

Jadi, jangan aneh bila Kepulauan Indonesia sering diguncang gempa bumi atau gunung apinya meledak-ledak. Sejak tahun 1000 hingga sekarang, telah tercatat lebih dari 1.000 kali letusan gunung api yang memakan korban tidak kurang dari 175.000 jiwa. Letusan dasyat Gunung Tambora di Sumbawa pada tahun 1815 dan letusan raksasa Gunung Krakatau di Selat Sunda pada tahun 1883 adalah dua letusan terdahsyat yang menelan korban jiwa sebanyak 126.000 jiwa. Itu terjadi abad ke-19, pada saat jumlah penduduk tidak sepadat sekarang.

Secepat pesawat jet

Tsunami mempunyai panjang gelombang sampai 200 km. Periode tsunami, yaitu jangka waktu yang diperlukan untuk datangnya dua puncak gelombang berurutan cukup lama, sampai 20 menit. Kecepatannya bisa mencapai 800 km/jam, bergantung pada kedalaman laut. Pada kedalaman laut 5.000 meter, kecepatan rambat tsunami sangat kilat, 250 meter/detik. Sedangkan di kedalaman 4.000 meter kecepatannya 200 meter/detik, dan bila dalamnya 40 meter, kecepatannya 20 meter/detik.

Di tengah lautan, tinggi gelombang tsunami hanya antara 0,25 - 0,50 meter sehingga kapal-kapal di tengah laut sering tidak merasakan adanya tsunami. Namun, tinggi gelombang itu bisa naik luar biasa pada saat mencapai pantai yang dangkal, teluk, atau muara sungai. Air laut terjebak, sehingga volumenya berlipat ganda, menjadikan kekuatan tsunami sangat mengerikan. Teluk-teluk di Lampung pada umumnya berbentuk "V", menjadikan energi tsunami semakin besar karena mempunyai efek corong.

Tsunami mempunyai arus berputar, bisa terjadi hanya beberapa menit, atau bisa terjadi beberapa hari. Saat Krakatau meledak, tsunami mencapai ketinggian 30-40 meter, menyapu pantai, dan masuk ke pedalaman Pulau Jawa sejauh 10 mil dengan arus balik yang kuat.

Tanda-tanda tsunami

Biasanya tsunami didahului dengan laut yang mendadak surut, yang berbeda dengan keadaan pasang surut normal. Banyak ikan yang kandas di dasar pantai. Menyusutnya air laut dengan tiba-tiba, sebenarnya lembah gelombang tsunami telah datang dan akan disusul dengan puncak gelombang yang akan segera menghadang. Bila sudah terjadi demikian, sekuat tenaga pun berlari, tak akan mampu mengalahkan kecepatan daya sapu tsunami yang luar biasa. Apalagi bila gelombang ketiga menyusul dengan keadaan yang jauh lebih dahsyat lagi.

Gelombang tsunami saat Krakatau meletus terekam hingga di English Channel. Kecepatan rambatnya di Samudra Hindia sekitar 600 km/jam. Menurut Collin Renfrew (1983), tsunami yang melanda Pantai Banten dan Teluk Banten berkecepatan 550 km/jam. Gelombang raksasa yang menerjang teluk-teluk di Lampung mencapai tinggi 30 meter, sedangkan yang melanda Pantai Banten lebih tinggi lagi, yaitu 40 meter.

Pada tahun 1981, Izumi membuat diagram pembiasan tsunami yang berpusat di Krakatau. Dalam diagramnya dilukiskan, jika pusat gempa di Krakatau, 30 menit kemudian gelombang laut itu akan sampai di Pantai Banten, dan dua jam setelah gempa, gelombang akan sampai di Jakarta.

Dr. Adjat Sudrajat (1993) menulis, "Berdasarkan penyelidikan para ahli, gempa bumi yang berkekuatan di atas 6,2 skala Richter dapat menimbulkan tsunami. Itu pun sangat dipengaruhi pula oleh kedalaman pusat gempa. Pada umumnya, kedalaman pusat gempa antara 20-30 km. Karena itu, kekuatan yang diperlukan untuk menimbulkan tsunami adalah antara 6,5 - 7,8 skala Richter. Pada umumnya, semakin besar kekuatan gempa, makin besar pula tsunami yang dihasilkannya.

Gempa bumi besar dapat menimbulkan pergerakan pada muka bumi. Bila terjadi di dasar laut, pergerakan inilah yang menyebabkan tsunami. Pergerakan horizontal pada umumnya tidak menimbulkan tsunami. Menurut catatan para ahli, gempa bumi berkekuatan 6,5 skala Richter dapat menghasilkan pergeseran kerak bumi secara vertikal 1 meter, sedangkan 7-8 skala Richter lebih-kurang menghasilkan 1-10 meter. Tsunami dapat didahului dengan susut laut yang memengaruhi volume air laut.

Peringatan dini

Tsunami banyak melanda Kepulauan Indonesia, misalnya menewaskan penduduk Mapaga sebanyak 200 orang pada tanggal 14 Agustus 1968. Penduduk pantai barat Sulawesi tewas sebanyak 64 orang dan luka-luka 97 orang saat tsunami melanda tanggal 23 Februari 1969. Pantai Sumba dilanda tsunami tanggal 19 Agustus 1977 menewaskan 150 orang, dan tanggal 18 Juli 1979 di Flores merenggut nyawa 540 orang.

Peringatan dini tsunami harus terus diupayakan, dan pengetahuan teknis upaya penyelamatan harus sudah diketahui oleh masyarakat pantai, mengingat Indonesia dilalui jalur gunung api dan gempa bumi, dengan garis pantai yang begitu panjang. Di wilayah Samudra Pasifik, didirikan Pusat Informasi Tsunami, yang salah satu tugasnya adalah melaksanakan sistem pemberitahuan tsunami bagi anggotanya, dan memberikan nasihat teknis penggunaan alat-alatnya.

Di Indonesia pun pada tahun 1977 telah dibentuk Kelompok Kerja Tsunami Indonesia yang bertujuan mempelajari timbulnya, sifat dan pengaruhnya, serta informasi bagi masyarakat pantai akan bahaya tsunami dan cara penyelamatan penduduknya. Tapi bagaimana kegiatannya, itulah masalahnya bagi kita!

Waspadai dampak sosialnya

Bencana tsunami yang terjadi 26 Desember 2004 ini harus diwaspadai karena telah menelan korban jiwa yang sangat banyak. Kematian mereka adalah lonceng peringatan bagi kita yang selamat tentang apa yang sudah kita laksanakan untuk rakyat Indonesia ini.

Karena sudah terjadi, dampak yang ditimbulkan dari bencana itu yang harus diwaspadai, terutama santunan dan perbaikan rumah, sawah/kebun, sarana dan prasarana, yang bila tidak ditangani dengan segera dikhawatirkan akan mengakibatkan penderitaan penduduk yang berkepanjangan. Bahwa suatu bencana alam bisa berdampak sosial - ekonomi bahkan politik, kita bisa melihat dampak tsunami akibat letusan Gunung Krakatau 1883 yang melanda Banten.

Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo dalam disertasinya yang kemudian dibukukan dengan judul Pemberontakan Petani Banten 1888 (Pustaka Jaya: 1984) menulis: "Tidak dapat disangsikan lagi bahwa selama dasawarsa yang mendahului pemberontakan, kondisi-kondisi sosial-ekonomis telah menimbulkan tekanan-tekanan dan tuntutan-tuntutan yang asing, dan tak terduga sebelumnya, dan karenanya terjadi sumber frustrasi yang kumulatif."

Wilayah Banten pada saat itu sudah sangat menderita karena bencana alam yang melanda silih berganti sebelum tahun pemberontakan. Tahun 1879 wabah penyakit ternak telah menurunkan jumlah ternak menjadi hanya sepertiganya. Sawah-sawah menjadi ditelantarkan karena kelangkaan kerbau untuk membajak sawah.

Agar wabah tidak menyebar ke seluruh wilayah, maka harus ada pembunuhan secara massal ternak tersebut. Sampai Juli 1880, ternak yang dibunuh sebanyak 46.299 ekor. Hal ini telah mengakibatkan kerugian yang besar, serta menimbulkan rasa cemas di kalangan rakyat.

Demam mengganas di wilayah ini sehingga 10 persen penduduk meninggal. Antara Januari-April 1880 penduduk yang meninggal sebanyak 12.162. Tenaga kerja untuk menggarap sawah menjadi sangat langka. Sawah tak digarap, bahkan panen tak dapat dipetik. Hanya 6.107 bau sawah yang digarap, beda dengan tahun sebelumnya seluas 28.825 bau. Akibatnya, satu musim kelaparan yang gawat tak dapat dielakkan lagi.

Rakyat belum pulih dari penderitaannya yang mencekam, pada 1883 Gunung Krakatau meletus, menyebarkan kehancuran yang luar biasa. Di wilayah ini lebih 20.000 penduduk tewas, banyak desa makmur hancur, dan sawah-sawah yang subur berubah menjadi tanah yang gersang. Penduduk memerlukan waktu untuk bangkit dari kehancuran ini.

Sartono berkeyakinan bahwa letusan Gunung Krakatau ada kaitan secara langsung dengan kecenderungan penduduk untuk memberontak. Sartono menulis: "Tak disangsikan lagi bahwa wabah penyakit ternak dan wabah demam, serta kelaparan yang diakibatkannya, dan disusul letusan Gunung Krakatau, merupakan pukulan yang hebat bagi penduduk: akibat merosotnya populasi ternak dan jumlah tenaga manusia yang tersedia, sekitar sepertiga dari tanah pertanian tidak dapat ditanami selama tahun-tahun bencana itu (1880-1882), sementara letusan Gunung Krakatau menyebabkan luas tanah yang tidak dapat digarap menjadi lebih besar lagi, terutama di bagian barat afdeling Caringin dan Anyer. Kegagalan panen selama beberapa tahun (1878-1886) telah menyebabkan keadaan lebih buruk lagi."

Belajar dari sejarah bencana alam, tak ada salahnya untuk menyelamatkan manusia yang masih ada dan menderita. Saatnyalah dibuktikan apa yang menjadi janji para anggota legislatif dan eksekutif saat berkampanye tempo hari. Ya, sekarang. Sekarang ini